Sabtu, 28 November 2015

Adat dan Agama dalam Modernisasi : Gadis segadisgadisnya gadis buton

Kurang lebih dua hari telah berlalu sejak saya menginjakkan kaki pertama kali di kota yang berselogan "BauBau kota semerbak".
Tak banyak yang saya ketahui tentang kota ini selain "keraton buton". Dari beberapa sumber saya dapatkan bahwa gadis buton bukanlah gadis sembarangan. Mereka rela melakukan apa saja demi menjaga kehormatannya. Saya pun penasaran dan berkeinginan merasakan jiwa - jiwa terhormat gadis buton. Setelah saya menginjakkan kaki di tempat sakral dengan nuansa dataran tinggi membuat saya merasa seperti bisa menembus batas cakrawala, saya mulai mengerti apa yang dialami para gadis buton. Ketika mereka akan memasuki usia remaja mereka akan mengecap ritual nenek moyang yang begitu menyakitkan layaknya seorang budak yang dicambuk tuannya.
Adalah ritual "Posuo" ritual yang menguji kesucian dan kesungguhan para gadis buton menjaga diri. Bahkan sangking menyakitkannya ritual ini, seorang gadis buton yang tak ingin merasakan sakit yang luar biasa berusaha lari sejauh mungkin hingga label gadis buton yang ada pada dirinya hampir saja hilang ditelan rakusnya perubahan zaman.
Sang gadis pun berhasil ditemukan oleh ibunya lalu dibawa pulang. Ibu sang gadis lalu bertanya ketika mereka duduk di atas lantai papan Banua Tada (rumah adat buton) "Kenapa ko mau lari?" Tanya ibu sang gadis dengan wajah memerah akibat menahan emosi. Sang gadis lalu menjawab dengan posisi menunduk menatap lantai "Saya bukan lagi anak kecil yang bisa mama atur-atur".
Jawab gadis itu dengan suara yang penuh dengan amarah. "Ko tau, karena kelakuanmu ini ko sudah bikin malu nama keluarga?" Tanya ibu sang gadis masih  dengan emosi tertahan. "Saya melakukan ini juga atas kemauan saya sendiri. Saya muak berpijak di atas dipan Banua Tada saya hanya bisa jadi pesuruh" jawab gadis itu santai "Saya juga sudah muak tinggal disini. Saya mau pergi di kendari. Saya mau bebas mama. Ko tau mama selama lima belas tahun saya hidup saya tidak pernah sekalipun merasakan yang namanya kebebasan. Sa kira kita sudah merdekami itu tandanya kita sudah bebasmi. Dan saya kira kesetaraan gender sudah adami di Indonesia sejak era kartini."
Jawab gadis itu masih dengan posisi menatap lantai papan. Tanpa gadis itu sadari, sebuah tamparan keras bak petir ditengah teriknya matahari, tiba-tiba melayang dipipi gadis itu. Plak. "Itu hukuman terbaik untuk anak yang kapatuli (keras kepala : bahasa kendari). Siapa yang ajar ko bicara tidak sopan seperti itu? Beginimi kalo anak yang turuti maunya zaman. Lebih da turuti perintah zaman dari pada tuhannya. Lebih dia utamakan panggilan zaman dari pada panggilan azan. Semua itu yang ko bilang tadi adalah perkataan zaman, ajaran zaman. Sebab mamamu ini yang buta huruf dan tidak mengerti zaman tidak pernah mengajarkan seperti itu. Sudah seperti inimi kalo anak - anak pintar salah. Sangking pintarnya berani dia lawan tuhan, berani dia melanggar perintah leluhurnya."
Ucap ibu sang gadis dengan emosi yang meluap - luap. "Kalo kau sudah berhasil pergi di kendari, mau jadi apa ko disana? Mau jadi germo atau pelacurnya sekalian!" lanjutnya sambil sesekali memijit - mijit telapak tangan yang merah akibat memberi tamparan yang terlalu keras. Sambil menggeleng gadis itu berujar "Saya hanya mau mengecap nikmatnya menjadi gadis modern yang bebas. Bebas memilih kehidupan, bebas sekolah, bebas bertemu dengan tuhan di atas sajadah tanpa harus ditemani bau menyengat dari kemenyan yang mengganggu saya ketika menyapa tuhan dalam setiap surah yang saya baca, dan bebas mengutarakan aspirasi saya kepada pemegang kekuasaan daerah tempat kita berpijak. Satu hal yang mama perlu tahu Indonesia tidak akan pernah bisa maju kalo kita masih berpatokan dengan ilmu leluhur kita yang masih dibungkus dengan mistis yang membuat seluruhnya gelap. Bahkan meski kartini sudah menghabiskan gelap sebelum terang, tidak akan ada pengaruhnya walau secuil. Indonesia akan tetap gelap dengan ilmu - ilmu primitif yang membuat kita dengan mudahnya bergabung dengan aliran - aliran sesat yang katanya meruntuhkan demokrasi dalam semalam yang pada akhirnya membuat negeri kita kehilangan label sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia".
Ucap gadis itu lirih. Ibu gadis itu terdiam 1000 bahasa mencerna apa yang dikatakan anak gadisnya barusan. menyisakan gemuruh suara angin membelai ilalang liar dari luar Banua Tada.

Kota BauBau, Sulawesi Tenggara, oktober, 2015

"Banua Tada" Kompleks perumahan Banua Tada Benteng Keraton Buton 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar