Minggu, 05 Juni 2016

Pria yang pergi pagi itu

Selamat Malam.
Mungkin saja saat kalian membaca tulisan ini di tempat kalian sedang pagi, siang, atau bahkan sore, tetapi biarlah. Dalam waktu 24 jam saya lebih menyukai waktu malam karena pada waktu itulah kita dapat mengenang seluruh kejadian yang kita alami seharian, entah itu kejadian sedih, senang, memalukan, bahkan sampai mengharukan.

Malam ini saya akan bercerita kepadamu tentang sepenggal kisah hidup dari seorang anak yang lahir 62 tahun yang lalu. Tentang seorang Kakak yang berjuang mati - matian demi kelangsungan dan kesuksesan hidup adik - adiknya, tentang seorang suami yang berusaha keras untuk belajar mencintai dan menyayangi istrinya ditengah rasa kebencian dirinya dan keluarganya, seorang ayah, bapak yang berkorban banyak demi anak - anaknya agar bisa sekolah setinggi mungkin, tentang seorang kakek yang bak motivator untuk kedua cucu - cucunya, tentang pria yang dicintai semua orang, dan tentang hamba Allah yang kembali ke dekapan penciptanya pagi itu dengan tenang dan tanpa menyusahkan orang lain.

31 desember 62 tahun yang lalu seorang anak laki - laki lahir dari rahim seorang perempuan berdarah Bugis. Masa kecil hingga remaja yang harus dilaluinya berbeda dengan orang kebanyakan, ia terpaksa putus sekolah karena harus bekerja demi kelangsungan hidup orang tua dan adik - adiknya hingga sukses sampai sekarang. Ia bekerja serabutan mulai dari pemanjat pohon kelapa, supir antar kabupaten, buruh pabrik, pedagang, sampai pengusaha tambal ban, seluruhnya ia lakukan demi kelangsungan hidup keluarganya.

20 tahun kemudian ia menikah dengan seorang perempuan berdarah Makassar, Pernikahan mereka begitu rumit karena tidak didasari rasa cinta tambah lagi ibu pria ini sangat tidak suka terhadap sikap pemalas istrinya. Pertengkaran sering terjadi sampai pada suatu saat pria ini memutuskan untuk bermigrasi ke pulau Kalimantan bersama istrinya. Kepindahan mereka ternyata banyak mengambil hikmah, pasalnya di sana mereka bertetangga dengan pedagang makanan sehingga istrinya setiap hari berkunjung ke rumah tetangganya untuk belajar segala hal. Mulai dari belajar memasak, mencuci, sampai mengurus seluruh keperluan suami dan rumah tangganya hingga pertengkaran tak pernah lagi terjadi antara keduanya.

Tahun selanjutnya buah cinta pertama mereka lahir yang membuat mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Demi melihat perubahan sikap menantunya yang menjadi semakin lebih baik, ibu pria ini pun perlahan - lahan mulai menerima menantunya dengan penerimaan yang baik. Dan pria ini, demi melihat anak pertama dan perubahan istrinya cinta itu perlahan mulai tumbuh dan merekah di hati untuk istrinya, mengingat betapa kuat ia membangun benteng kebencian untuk istrinya, tetapi cinta itu nyatanya lebih kuat dari benteng kebencian dihatinya. keadaan membaik.

Tahun - tahun berikutnya hingga anak ketiganya lahir, ia kembali memutuskan bermigrasi ke Sulawesi Tenggara yang kala itu masih merupakan bagian dari Sulawesi Selatan. Di sana ia membuka usaha bengkel tambal ban demi melihat anak dan istrinya. Ia bekerja keras untuk bisa menjadi ayah, bapak yang baik. Tahun berikutnya, keadaan sudah menjadi lebih baik bahkan sangat baik, mereka mulai membangun rumah yang lebih layak, istrinya pun mulai membuka usaha sebagai pedagang sembako. Kehidupan mereka sudah jauh dari kata layak.
Anak pertamanya berhasil mendapat beasiswa full perguruan tinggi di Gorontalo hingga anak pertamanya berhasil mendapat gelar "Cumlaude".

Ketika anak bungsunya lahir, terbesit dipikirannya bagaimana cara menjadi ayah yang baik? Ia mulai membantu istrinya mengurus rumah dia juga sering bercerita kepada anak - anaknya tentang makna hidup.
Lima tahun kemudian, ia akhirnya menyelesaikan tugasnya sebagai ayah, bapak bagi anak pertamanya. Ia berhasil menikahkan anak pertamanya dengan seorang pria berdarah Bulukumba.
Dua tahun setelahnya, cucu pertamanya lahir yang menambah catatan sejarah kebahagiaannya. Sekarang ia bukan hanya menjadi ayah tetapi seorang kakek untuk cucunya.

Empat belas tahun setelahnya ia mulai menjadikan dirinya sebagai ayah,  Bapak yang baik untuk anak dan cucunya. Setiap kali ia mengunjungi cucunya ia selalu meneteskan air mata, mengingat usaha kerasnya berbuah manis saat ini. Anak keduanya saat ini menjabat sebagai kepala sekolah di salah satu sekolah di Kabupaten Kolaka, anak ketiganya adalah seorang bidan di salah satu rumah sakit swasta di Kendari, dan anak bungsunya adalah salah satu pegiat seni termuda di Sulawesi Tenggara.

Ia selalu bekerja keras tanpa pernah terbesit dipikirannya untuk menyusahkan dan merepotkan orang lain. Ia selalu dicintai oleh semua orang. Terutama istri, anak, cucu, sampai tetangga - tetangga sekitar pemukimannya. Dan bagaimana nasib adik - adiknya? Mereka sukses dengan pekerjaannya masing - masing berkat kerja keras dirinya.

Setahun kemudian tepat pukul 09.00 pagi di usianya yang ke 62 tahun, ia pergi pagi itu dengan tenang dan tanpa menyusahkan orang lain. Ia di jemput ajal dengan penuh kedamaian. Ia meninggalkan orang - orang yang mencintainya untuk bertemu dengan penciptanya sebagai hamba Allah yang setaat - taatnya seorang hamba.

Dan hari ini, tepat 17 tahun usia anak bungsunya sekaligus Ramadhan pertama dirinya tak lagi berpijak di bumi Allah. Rasa kehilangan yang kemudian menjadi kekuatan baru bagi seluruh orang yang mencintainya. Selamat jalan Kakak, suami, bapak, kakek, kelak kita semua akan di pertemukan kepada pencipta kita.

"Ketika kehilangan pada akhirnya menjadi kekuatan baru dan membuka mata kita akan ketidak abadian hidup".

Nur Indah Amelia Syamsuddin
17 tahun, Kendari, Sulawesi Tenggara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar