Selasa, 09 Februari 2016

Sajak langit

Hembusan angin menampar lembut wajahku
Meninggalkan bekas merah yang tak kasat mata
Semburat fajar membungkus langit pagi Sulawesi Tenggara
Tatkala kaca dimataku pecah berhamburan
Langit tak seindah dahulu
Yang menampakkan keperawanannya di garis batas cakrawala

Pernahkah kau, aku, kita, dan mereka
Melihat lalu merasakan
Sakit yang dirasakan langit tatkala keperawanannya direnggut begitu saja?
Air matanya yang dulu terasa manis lalu tawar
Kini telah tergantikan dengan pahit lalu asam

Pernahkah dia, kami, dan kalian mendengar dan mengecap
Jeritan langit ketika fajar menjemput senja?
Jeritannya yang memekakkan telinga sanggup memecahkan gelas arak diatas meja seorang pria berkalung sorban yang kalah judi?

Sanggupkah kalian semua mengembalikan keperawanannya?
Asap pabrik yang menguap dari mulut para tukang pukul berkantung tebal bak silet berhasil melukai kulit mulusnya

Cipratan parfum bermerek kualitas pasar yang diobral oleh pedagang berjanggut panjang menjuntai yang telah menyatu dengan berbagai bahan kimia berbahaya

Berbahaya? Mereka terlalu berhati mulia memikirkannya
Diakal dan pikirannya hanya ada pria berkantung tebal yang memaksanya tampil cantik nan centil dihadapannya tanpa memperdulikan cipratan parfum kimia yang merusak keperawanan langit

Sebegitu mudahnyakah merusak langit kota?
Entahlah mungkin hanya merekalah orang - orang pinggiran yang berotak udang pelakunya
Entahlah mungkin juga mereka segerombolan anak adam yang dibawah kendali iblis pelakunya
Entahlah mungkin para remaja penentang agama pelakunya

Entahlah mungkin saja pelakunya adalah manusia - manusia trotoar yang tak tahu malu dan tak tahu terimakasih menggunakan tanah lapang milik pemerintah untuk membuka lapak?
Oh ataukah dia sang pemilik seluruhnya termasuk cinta dan rinduku yang tak pernah terlampiaskan kepada sosokmu yang tiba - tiba meninggalkanku dengan segala angan - angan berlebihan adalah pelakunya?

Kenapa tidak? Dia adalah pemilik
Namanya sudah tercantum diatas surat kuasa kepemilikan yang ditandatangani para pengacara buta dan rakus
Sudah menjadi haknya jika dia sudah lelah mengurus manusia melalui ayat - ayat dan tanda - tanda kekuasaannya yang telah tampak di darat dan di laut
Sudah menjadi kehendaknya jika ia dengan kalimat maka jadilah merusak keperawanan langit lalu memberi pelajaran kepada  hambanya

Sulawesi Tenggara

Minggu, 07 Februari 2016

Miskin di negeri sendiri

Ditulis dan dipublikasikan pertama kali pada event "Sajak - Sajak Anak Negeri Indonesia bersajak 2016 tingkat nasional"

Palang – palang tanda larangan parkir
Yang berdiri anggun ditengah hiruk pikuk jalan raya
Tak kau indahkan

Sampah – sampah yang rupa dan baunya
Menyengat hingga ke istana negara tak kau hiraukan
Karena miskin di negeri sendiri

Anak sekolah semakin malas karena dihantui
Oleh sistem yang mengerikan
Semakin bodoh karena dibodohkan
Oleh sistem yang menyesatkan
Dibebani melebihi batas kemampuannya
Bahkan Tuhan melalui ayat – ayatnya
Tak berani membebani hambanya
Kini kau berani menantang Tuhan
Karena miskin di negeri sendiri

Pelacur – pelacurmu
Bersandiwara dibalik kerudungnya
Membuat layu kembang yang mekar di dada dan pahanya
Kau lumat habis seluruhnya lalu dengan mudahnya kau bayar
Dengan apel merah Washington yang membuatnya histeris
Menggema hingga menyelinap masuk ke senayan
Karena miskin di negeri sendiri

Kemiskinan demi kemiskian
Berganti dengan kemiskinan – kemiskinan yang baru
Akibat kabut asap yang masih betah tinggal bersamamu
Menyesakkan dada dan menyempitkan paru – paru
Karena miskin di negeri sendiri

Kau sumbat hidungmu
Kau cuci tanganmu dengan uang
Kau butakan matamu dengan emas dan tembaga
Lalu kau jual seluruhnya setelah kabut asap hilang lalu pergi

Karena kau takut miskin
Maka pelacur – pelacurmu juga kau jual
Hingga ke luar negeri dengan harga murah bahkan
Lebih murah dari harga sebungkus rokok yang kau guankan
Untuk membuat kabut asap
Karena miskin di negeri sendiri

Berhasil mendatangkan kutukan demi kutukan dari Tuhan
Karena miskin di negeri sendiri
Membuat matahari tak mau terbit di pelupuk matamu

Karena miskin di negeri sendiri

 

Sulawesi Tenggara

Sabtu, 06 Februari 2016

Sajak Entah apa ini

Entah apa ini
Semburat panas mengaliri setiap senti tubuh ini
Membuat kaca di mataku retak nyaris pecah

Entah apa ini
Dingin menyeruak ke dalam nadi
Menembus batas - batas hingga sampai terasa di telapak tangan mungilku

Entah apa ini
senyum yang sejatinya selalu merekah disudut bibirku tak sanggup memerintahkan syaraf di otakku untuk membuatnya

Entah apa ini
Rasa nyeri lagi perih menyelimuti perasaan yang amat dalam bagi pemiliknya

Entah apakah ini
Rasa sakitkah?
Cemburukah?
Bencikah?
Atau entah apalah namanya

Sejenak aku merasa terjebak didalam jiwa orang yang tak kukenali
Bermain peran menjadi dirinya
Berusaha keluar dari rasa yang menyesakkan

Ataukah ini benar diriku?
Diri yang tak tahu menghargai dirinya
Berani mengambil langkah
Menumbuhkan seperempat kecambah di hati dan kebahagiaan sahabtnya

Tahukah kau wahai hati?
Tak bisakah kau memilih
Kepada siapa kau akan menumbuhkan kecambah ini?
Tak bisakah kau mengerti situasinya?
Tak bisakah kau memikirkan segala sesuatunya?

Oh rupanya hati tak pernah salah
Kecambah tak pernah tumbub di tanah gersang
Duri tak pernah terlihat di batang teratai
Air asin tak pernah menjadi air tawar
Matahari tak pernah menjadi bulan
Dan kau
Tak akan pernah menjadi bagian dari seperempat hatiku
Mungkin nanti sampai kau menjadi orang lain