Minggu, 20 Maret 2016
sepenggal asa dari kerikil pesisir Moramo Utara
Tampak kontras membelah langit di garis - garis cakrawala
Memantapkan langkah kaki memulai perjalanan yang tidak terlalu jauh juga tidak nampak dekat dipelupuk mata
Yang tampak bertasbih digaris khatulistiwa
Menggema bersama alunan denting palu yang beradu
Para wanita paruh baya berpenutup wajah
Mengangkat palu sembari menjemput rezeki
Sembari bercucuran keringat
Sembari memperbaiki penutup wajahnya
Sembari menjemput secuil asa yang tertanam di dalam batu kerikil
Pernahkah mereka memberontak di depan wali kota?
Pernahkah mereka telanjang muka di depan para pemegang kekuasaan?
Yang mereka tahu hanya bersujud dan berdzikir di waktu matahari sepenggalan naik
Berharap sang pemilik semesta menjatuhkan sekantung uang receh dari langit
Mereka buta akan warna
Mereka buta akan hukum
Tapi ketahuilah mereka tidak pernah buta akan nikmat Tuhan
Rabu, 16 Maret 2016
Gadis berselimut sorban
Marwah Hanurti, 17 Maret dalam aksara (17th)*
Semburan senja memantulkan bayangan gadis dengan sorban yang melingkar dipinggangnya
Berjalan di atas aspal panas dengan lunglai seperti tanpa semangat hidup
Cahaya senja yang menerpa wajahnya meluluh lantahkan seluruh kebahagiaan dipelupuk matanya
Seperti tak pernah merasakan kepedihan
Ia terus berjalan hingga cahaya senja redup lalu mati ditelan hausnya kehidupan jalang aspal panas
Tak peduli malam yang datang dengan pekatnya
Ia terus berjalan menghilangkan beban dipelupuk matanya
Beban yang datang bersama kebahagiaan
Tapi tahukah? Dia mungkin gadis terkuat yang pernah bersemayam di semesta tak ber - Tuhan
Sekelebat kepedihan menghujani hatinya bak hujan asam yang mampu melelehkan besi dan baja
Hati yang terlalu luas mengikhlaskan
Hati yang usianya kini menjejak 17
Hati yang memeluk erat seluruh rasa sakit
Tapi malam yang semakin pekat dan semakin pekat membuatnya luluh dan jatuh tertidur berselimut sorban yang direkatkan dipinggangnya.
Kendari, Sulawesi Tenggara
* Marwah Hanurti, Remaja tangguh yang lahir pada 17 Maret 1999 adalah sahabat, teman, saudara. Tulisan ini 100% terinspirasi dari sosoknya.
Malam jum'at yang berdebu
Burung gagak bertengger dengan anggunnya
menatap tajam dikejauhan
Tampak sebuah rumah yang tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil
Bohlam berwarna redup bak lampu diskotek yang hidup lalu mati bergantian tampak jelas terlihat melalui celah daun jendela
Burung gagak bertengger dengan anggunnya di dalam balutan malam jum'at yang berdebu
Menajamkan telinga mendengar
1001 kabar kematian didalam rumah yang tak terlalu besar namun juga tak terlalu kecil
Kematian akan moral
Kematian akan keperawanan di atas janji dan ikrar kepada Tuhan
Kematian akan rasa hormat kepada Orang tua
Burung gagak bertengger dengan anggunnya
Mengatupkan paruhnya seolah ingin menghardik hamba Tuhan tak tahu diri yang bersemayam didalam rumah yang tidak terlalu besar juga tak terlalu kecil
Menghardik kepada sang pemilik rumah yang dengan 1001 cara melempar perkakas rumah tangga tepat mengenai wajah kecil berlumuran dosa di antara dosa - dosa keluarganya
Tak tahan dengan seluruh panca indranya
Burung gagak dengan anggun menengadah ke langit lalu mengepakkan sayapnya pergi
meninggalkan rumah dengan segudang dosa yang tertanam di dalamnya
Membelah kepakatan dan kegelapan malam jum'at dengan jutaan partikel debu tanpa jeda
menyampaikan pesan kematian demi pesan kematian di pundaknya
Kendari, Sulawesi Tenggara